uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Sejarah Nasi di Indonesia: Dari Sesajen Dewa hingga Nasi Dua Bungkus

Nasi bukan sekadar makanan ia adalah filosofi hidup orang Indonesia. Dari sesajen di masa kerajaan hingga rebutan lauk di warung Padang, sejarah nasi di negeri ini penuh drama, dan butiran-butiran kebahagiaan (serta diabetes).

Ketika Padi Masih Dihormati (Bukan Dihitung per Cangkir)

Konon, jauh sebelum beras jadi promo di minimarket, padi dulu dianggap suci. Dewi Sri, sang dewi kesuburan, dulu dielu-elukan, disembah, dan dikasih sesajen. Sekarang? Dewi Sri sudah kalah pamor dengan diskon beras 5 kg di e-commerce.

Zaman dulu, panen padi adalah upacara sakral. Masyarakat memotong batang padi dengan penuh hormat, seperti upacara wisuda bagi tanaman. Tapi kini, padi dipanen dengan mesin, lalu dibungkus plastik, diberi label “beras premium wangi pandan”, dan dijual dengan bonus ember.

Masuknya Beras ke Meja, dan Munculnya Kebingungan Nasional

Ketika teknologi menumbuk padi semakin canggih, nasi mulai hadir di setiap meja makan. Jadilah tradisi baru: “Belum makan kalau belum makan nasi.”

Coba kamu perhatikan orang Indonesia bisa makan roti, mie, pizza, burger, tapi tetap saja 2 jam kemudian bilang, “Kok belum kenyang ya?”

Itulah tanda bahwa nasi bukan hanya karbohidrat, tapi kebutuhan spiritual.

Mungkin kalau ada yang bilang, “Saya diet, nggak makan nasi,” di zaman Majapahit, orang itu langsung dianggap penyembah aliran sesat.

Demokratisasi Butiran Padi

Ketika kerajaan-kerajaan runtuh, nasi tetap bertahan. Ia tak peduli siapa rajanya, siapa penjajahnya, yang penting tetap bisa disajikan dengan sambal.

Dari istana hingga warteg, semua makan nasi. Bedanya cuma di lauk. Kalau raja pakai ayam betutu, rakyat jelata cukup dengan tempe orek dan kuah sisa sayur. Tapi tetap saja bahagia.

Inilah kehebatan nasi, dia tidak pilih kasih. Ia bisa disandingkan dengan rendang, disiram kuah opor, bahkan dibungkus daun pisang dengan sambal teri medan.

Nasi adalah simbol kesetaraan semua orang sama di hadapan piring.

Ketika Nasi Mulai Jadi “Masalah Serius”

Pada masa kolonial, Belanda mulai mengatur pola tanam padi. Mereka bilang, demi efisiensi dan ekonomi. Padahal demi ekspor dan kantong mereka sendiri.

Rakyat disuruh tanam padi, tapi yang makan justru tuan tanah.

Nasi mulai jadi komoditas politik: siapa yang menguasai beras, dia yang berkuasa.

Hingga akhirnya muncul slogan abadi: “Swadaya pangan”, yang artinya, tolong jangan sampai harga beras naik, nanti rakyat demo.

Nasi Instan, Nasi Bungkus, dan Nasi yang Selalu Salah

Masuk era modern, nasi jadi makin fleksibel. Ada nasi goreng instan, nasi kotak rapat, nasi liwet elektrik, nasi sushi fusion, sampai nasi kucing yang porsinya seperti diet versi ekstrem.

Lucunya, meskipun variasi nasi makin banyak, persoalan tentang nasi juga makin pelik.

Makan nasi dianggap boros, tidak makan nasi dianggap tidak nasionalis.

Dan di tengah semua itu, nasi tetap sabar. Ia cuma butiran kecil yang ingin dimakan dengan tenang bukan dijadikan bahan debat antara tim diet keto dan tim karbo sejati.

Nasi dan Filosofi Hidup

Kalau kamu pikir nasi cuma soal kenyang, kamu salah besar. Nasi adalah guru kehidupan.

Dari padi kita belajar: tumbuh di lumpur, tapi tetap berguna. Dari beras kita belajar, butuh digiling dan digosok dulu baru jadi putih bersih. Dari nasi kita belajar: walau sering diaduk, tetap bisa bikin orang bahagia.

Jadi, kalau suatu hari kamu merasa hidupmu hancur, ingatlah, padi juga harus “dipukul” dulu sebelum jadi nasi.

Dan seperti kata pepatah modern:

           Hidup itu seperti sepiring nasi kalau nggak bisa menikmatinya, mungkin kamu cuma kurang sambal.


Related Posts
Newest Older
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment