Drama Sosial Media yang Tak Pernah Usai
Kebenaran dan kesalahan kini seperti dua pemain sinetron yang tukar peran. Di dunia ramai, orang salah bisa kelihatan benar; sementara orang benar malah tampak salah karena sendirian. Inilah satire tentang logika terbalik zaman digital.
Kebenaran: Sendirian di Pojokan Grup WhatsApp
Di zaman dulu, kebenaran itu sederhana: siapa yang jujur, dia benar. Tapi sekarang, kebenaran tergantung jumlah likes.
Kalau kamu benar tapi cuma disukai tiga orang, maaf — algoritma tidak berpihak padamu.
Sebaliknya, kalau kamu salah tapi disetujui seribu orang, dunia maya akan menyambutmu sebagai “tokoh inspiratif.”
Di grup WhatsApp keluarga, misalnya, ada satu orang berani bilang, “Sumbernya hoaks, Bu.”
Ia benar secara ilmiah, tapi langsung dicap “kurang sopan pada yang tua.”
Sementara yang menyebar pesan hoaks tentang vaksin bisa bikin magnet di dahi malah dianggap paling peduli kesehatan keluarga.
Kebenaran memang suci, tapi sering tidak punya kuota internet.
Kesalahan: Punya Massa, Punya Kuasa
Kesalahan itu licik. Ia tahu bahwa di zaman demokrasi digital, suara terbanyak adalah segalanya.
Maka, kesalahan pun membangun komunitas.
Ada grup “Orang yang Tidak Percaya Logika,”
ada juga “Paguyuban Anti Fakta Tapi Santai.”
Dan jangan lupa komunitas paling kuat di jagat maya: “Warga yang Punya Pendapat Tapi Tak Mau Cek Data.”
Orang salah kalau ramai-ramai bisa bikin petisi, trending, bahkan mengubah kebijakan.
Sementara orang benar kalau sendirian cuma bisa curhat di thread panjang yang dibaca dua orang dirinya sendiri dan akun bot.
Hukum Alam Baru: Siapa Ramai, Dia Benar
Sekarang, kebenaran tidak lagi diukur dari bukti, melainkan dari engagement rate.
Sebuah opini ngawur bisa viral karena punya thumbnail menarik dan musik dramatis.
Sementara klarifikasi ilmiah tenggelam di bawah video unboxing skincare kucing.
Lucunya, kita sudah tahu ini salah, tapi tetap ikut menyebarkan — dengan alasan klasik: “Biar tahu aja.”
Padahal kalau semua orang ingin “biar tahu aja,” maka seluruh dunia tahu hal yang salah.
Beginilah hukum sosial terbaru: kebenaran bukan soal fakta, tapi siapa duluan yang ramai.
Ketika Orang Benar Jadi Salah Karena Sendirian
Pernah lihat seseorang yang menegur teman karena mencontek, lalu malah dibenci satu kelas?
Itulah bukti bahwa moral tidak selalu menang dalam sistem sosial yang salah.
Kejujuran bisa tampak sombong, ketegasan bisa disalahartikan galak, dan kesopanan dianggap pencitraan.
Orang benar sering berakhir sendirian di kursi paling belakang, menatap langit sambil berkata,
“Mungkin aku yang salah, ya?”
Padahal tidak. Hanya saja, ia lupa: di dunia ramai, suara nurani kalah oleh notifikasi grup.
Ketika Orang Salah Jadi Benar Karena Beramai-ramai
Sebaliknya, orang salah tak pernah merasa salah karena selalu ada backup plan: teman seperjuangan.
Kalau ditegur, mereka bilang, “Kita kan cuma bercanda.”
Kalau diminta tanggung jawab, mereka bilang, “Jangan baper dong.”
Kalau semua gagal, tinggal bilang, “Tuhan tahu siapa yang benar.”
Dan selesai sudah.
Kesalahan beramai-ramai seperti karaoke bareng: sumbang pun tetap seru, karena semua ikut sumbang.
Penutup: Dunia yang Membingungkan Tapi Lucu
Kebenaran kini tak lagi hitam-putih. Ia seperti Wi-Fi publik: banyak yang pakai, tapi tak jelas siapa pemiliknya.
Orang benar harus belajar menertawakan keadaan,
sementara orang salah harus belajar bahwa ramai belum tentu berarti benar.
Kita hidup di zaman ketika suara hati kalah dari suara notification.
Maka, satu-satunya cara agar tetap waras adalah belajar ketawa di antara kebingungan.
Karena, seperti kata pepatah modern:
“Lebih baik salah sendirian tapi sadar,
daripada benar beramai-ramai tapi cuma ikut tren.”