uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Catatan Juru Foto Dadakan dari Arena Atletik

Dua Hari Jadi Tukang Jepret, Dapat Pencerahan Hidup

Dua hari ini saya tidak sedang jadi guru, bukan juga mahasiswa pascasarjana yang sibuk mikirin bab hasil penelitian.

Saya hanya jadi juru foto dadakan pegang kamera, keringat ngalir, tapi harus tetap senyum di depan panitia yang kalau bicara seperti ujian lisan mendadak.

Sebagai bagian dari “tim support data dan dokumentasi,” pekerjaan ini terdengar keren di telinga, tapi dalam praktiknya seperti jadi customer service tanpa data.

“Mas, surat keterangan atlet A ada, nggak?”

“Sebentar, saya cek dulu…” (padahal di kepala: surat apa, siapa yang bawa, bahkan atlet A ini yang mana, saya baru lihat hari ini!)

Namun, sebagai petugas dadakan yang baik dan patuh pada protokol sosial Indonesia, saya harus tetap tenang di hadapan panitia.

Kuncinya cuma satu: pasang wajah yakin meski hati bingung.

Karena di dunia ini, yang tampak yakin sering lebih dipercaya daripada yang benar-benar tahu.

Antara Curiga dan Citra Diri

Sebagai juru foto, posisi saya unik: bukan atlet, bukan panitia, tapi selalu di tengah-tengah.

Dari tengah itu, saya melihat banyak hal yang tidak tertangkap kamera.

Misalnya, tatapan penuh curiga dari tim lawan ketika melihat atlet yang terlalu jago.

Seolah-olah skill tinggi adalah hasil konspirasi, bukan latihan.

Di situ saya baru sadar: di banyak bidang, orang yang terlalu bagus sering dicurigai.

Kalau kamu bisa, dianggap “curang.”

Kalau kamu tenang, dikira “sombong.”

Kalau kamu benar, dibilang “pintar sendiri.”

Mungkin beginilah dunia: kebenaran itu sering repot karena berdiri sendirian, sementara kesalahan ramai-ramai bisa sambil tertawa.

Optimisme yang Kadang Kebablasan

Di sela-sela pertandingan, saya sempat berbincang dengan beberapa atlet.

Hebat-hebat, optimis semua.

Aura mereka seperti cahaya sore di stadion—hangat, tapi bisa bikin silau kalau terlalu lama dilihat.

Namun, saya juga belajar bahwa rasa percaya diri yang berlebihan bisa jadi jebakan manis.

Ada atlet yang gaspol dari awal, seperti ingin membuktikan bahwa dia adalah kombinasi antara Cristiano Ronaldo dan Naruto Uzumaki.

Sayangnya, setelah tiga ronde, napasnya tinggal separuh, semangatnya tinggal seperempat.

Podium pun berpindah ke orang yang kelihatannya biasa saja tapi tahu cara bertahan.

Dan di situlah muncul pencerahan kecil dari seorang bapak-bapak atlet senior yang saya wawancarai.

Katanya, “Dalam tanding, bukan siapa yang gas duluan yang menang, tapi siapa yang konsisten pada ritme. Lawan akan kelelahan sendiri.”

Sederhana, tapi menohok.

Karena bukan cuma di arena olahraga — di hidup pun begitu.

Orang yang konsisten pelan-pelan biasanya lebih jauh langkahnya daripada yang heboh di awal tapi ngos-ngosan di tengah.

Maaf dan Terima Kasih dari Seorang Juara Sejati

Saya juga memperhatikan satu hal yang langka: beberapa atlet yang menang malah bilang “maaf” dan “terima kasih” kepada lawannya.

Tampak sederhana, tapi di balik itu ada keanggunan moral yang jarang kita lihat.

Ia sadar bahwa kemenangan bukan berarti menghancurkan, melainkan menumbuhkan.

Bahwa musuh bukan lawan yang harus dikalahkan, tapi rekan yang membantu kita tumbuh.

Dan saya refleksi sejenak: mungkin di dunia ini, orang seperti itu sering terlihat “aneh.”

Orang yang tenang, sopan, dan sportif justru sering kalah dalam opini publik yang suka teriak.

Karena di masyarakat kita, yang sopan sering dikira kalah, dan yang ramai sering dianggap benar.

Di Dunia yang Terbalik, Ritme Adalah Segalanya

Dua hari jadi juru foto membuat saya paham sesuatu: kebenaran itu seperti foto candid sering tidak terlihat, tapi paling jujur.

Sementara kesalahan seperti filter media sosial: indah di mata, tapi palsu di warna.

Menjadi “benar” memang melelahkan, apalagi kalau sendirian.

Tapi seperti kata si bapak atlet tadi, yang penting bukan siapa yang gas duluan, tapi siapa yang tahan sampai akhir.

Konsistensi itu bukan cuma tentang stamina, tapi tentang kesetiaan pada nilai.

Karena pada akhirnya, orang benar mungkin kalah hari ini, tapi ia tak perlu menyesuaikan diri dengan kesalahan hanya demi ikut ramai.

Dan kadang, kemenangan sejati justru ketika kita bisa bilang “maaf dan terima kasih” setelah semua selesai.

Antara Lensa dan Nurani

Saya datang ke arena hanya untuk memotret, tapi pulang dengan lebih banyak hal yang tak bisa direkam kamera.

Bahwa dalam hidup, benar dan salah tidak selalu ditentukan oleh wasit, panitia, atau sorak penonton.

Kadang, yang benar cuma butuh waktu lebih lama untuk dimengerti.

Dan kalau besok ada yang tanya apa hikmah jadi juru foto dadakan, saya akan jawab santai:

“Bahwa dalam hidup, jangan cuma gas di awal. Pegang ritme, jaga napas, dan kalau menang jangan lupa bilang maaf dan terima kasih.”

AKarena dunia ini kadang salah menilai tapi bukan berarti kita harus ikut salah menilai diri sendiri.



Related Posts
Newest Older
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment