uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Jurnal perjalanan #5 Melaka Malaysia

 


Catatan Satir Perjalanan yang Nyaris Serius

Perjalanan ke Melaka ini seharusnya biasa saja—kalau saja tidak diwarnai rasa Milo yang “katanya” lebih pekat, rombongan yang tercerai-berai, dan renungan filosofis tentang sungai yang gagal jadi halaman depan. Sebuah catatan ringan, penuh humor, dari perjalanan yang (lagi-lagi) tidak biasa.

Dari SPBU

Van yang kami tumpangi tiba-tiba menepi di sebuah SPBU. Tanda kehidupan setelah dua jam perjalanan dengan posisi kepala miring 35 derajat ke jendela. Kami semua keluar, sebagian besar memilih toilet, sebagian lagi memilih cermin di wastafel bukan untuk membasuh muka, tapi memastikan wajah mereka masih layak untuk difoto kalau tiba-tiba ada spot Instagramable.

Saya melirik minimarket di samping SPBU dan langsung teringat Dadan. Sebelumnya, di pemberhentian pertama, Dadan sempat pamer Milo Malaysia dengan klaim luar biasa: “Rasanya lebih pekat, lebih original, lebih berkarakter.”
Saya yang gampang penasaran, tentu tak mau kalah eksis. Akhirnya kami masuk dan mencari Milo yang katanya “beda.”

Ekspektasi vs Realita

Tak lama, van kembali hidup. Pak sopir sudah duduk di kursi depan dengan ekspresi khas: “Ayo cepat, saya sudah hidup lebih lama dari kalian.” Kami pun buru-buru masuk. Di perjalanan, saya membuka Milo tadi rasa cokelat yang katanya legendaris itu.

Sruput pertama: yah, memang beda... tapi beda tipis, seperti bedanya “coklat bubuk” dan “coklat bubuk yang dikasih air lebih banyak.”
Mungkin ini soal selera, atau mungkin saya terlalu sering makan cokelat waktu kecil sampai rasa cokelat sudah tidak bisa menipu. Dulu tiap kali ditanya makanan favorit, jawabannya selalu sama: cokelat. Dan sampai sekarang, tampaknya dunia belum memberi cokelat yang cukup kuat untuk mengguncang selera itu.

Selamat Datang di Melaka, Kota yang Sudah Duluan Ditempati Rombongan Lain

Perjalanan berlanjut, van kami seperti punya hobi mendadak ngerem. Entah karena jalanan, entah karena gaya hidup sopir yang suka kejut-kejutan. Kami semua terjaga lagi begitu tiba di Melaka.

Begitu keluar, kami disambut pemandangan klasik: bangunan tua, warna bata, dan suasana kolonial yang bikin kamera ponsel gatal ingin bekerja. Saya baru sadar, ternyata rombongan kami bukan yang pertama datang. Sudah ada tim Landung dan Cahyo yang entah sejak kapan tiba lebih dulu. Tak lama, bus keempat datang membawa sisa rombongan kelas saya. Akhirnya formasi lengkap—walau tetap belum sempat foto bersama.

 Romantisme yang Sulit Terjadi di Jakarta

Setelah puas berpose di depan setiap dinding dan jembatan yang estetik, kami beranjak ke halte untuk naik cruise, perahu wisata yang menyusuri Sungai Melaka.

Perjalanan dengan perahu ini, konon, adalah highlight Melaka. Dari sini, kita bisa melihat konsep kota yang menempatkan sungai sebagai halaman depan rumah. Cantik, tertib, dan fotogenik.

Saya sempat berpikir, “Andai konsep ini diterapkan di Jakarta…”
Tapi langsung teringat, saya pernah menyeberangi Kali Ciliwung pakai getek bambu. Bau amis, botol bekas, dan sandal nyasar jadi pemandangan biasa. Mungkin sungai di Jakarta belum siap jadi halaman depan—karena terlalu lama jadi tempat belakang.

Cruise, Cruise, dan Kami yang Selalu Dapat Giliran Kedua

Sayangnya, saat giliran naik cruise, rombongan kami harus rela menunggu. Dosen dan staf sudah lebih dulu naik perahu, sementara saya, Landung, dan Cahyo menunggu dengan wajah pasrah tapi tetap mencoba tampak bahagia untuk konten dokumentasi.

Akhirnya kami bertiga naik di rombongan berikutnya. Jalurnya pendek, tapi suasananya menyenangkan. Angin lembut, bangunan tua di pinggir sungai, dan kamera teman yang sibuk berbunyi tiap tiga detik. Saya sempat berpikir: “Perjalanan ini seperti hidup kita sering tak di kapal pertama, tapi tetap bisa menikmati pemandangan dari kapal berikutnya.”

Balik ke Van: Sopir yang Lebih Siap dari Kami

Perahu menepi. Kami pun kembali ke darat, berjalan mencari van yang sudah menunggu. Sopir kami tampak agak gelisah—mungkin karena menunggu terlalu lama, atau mungkin karena kami terlalu lama berpose.

Bowo sudah duluan duduk di kursi tengah, wajahnya seperti berkata, “Udah, cepet duduk, nanti sopirnya ngomel lagi.” Kami pun kembali ke van, kali ini menuju Kuala Lumpur pusat peradaban Malaysia, dan mungkin juga pusat kantuk setelah perjalanan panjang ini.

Penutup: Milo, Melaka, dan Makna Perjalanan

Perjalanan ke Melaka memberi saya pelajaran sederhana tapi penting:
Kadang yang kita kejar bukan rasanya, tapi ceritanya. Bukan fotonya, tapi kenangannya. Dan kadang... Milo yang “katanya lebih pekat” ternyata rasanya biasa saja—karena yang istimewa justru cerita di antara sruputan pertama dan tawa di perjalanan.

Related Posts
Newest Older
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment