uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Indonesia Dapat Jackpot, tapi Malah Bingung Baca Petunjuknya


Indonesia katanya sedang diambang “bonus demografi”. Artinya, jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada yang tidak produktif. Harusnya ini kesempatan emas: punya banyak tenaga kerja, ide segar, dan anak muda yang bisa jadi inovator.

Tapi tunggu dulu. Dengan kondisi kurikulum pendidikan kita? Hmm… jangan-jangan bonus demografi ini malah jadi “boncos demografi”.

Gonta-ganti Tapi Rasa Sama

Coba kita hitung. Dari dulu kurikulum di Indonesia seperti fashion musiman: ada Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, KBK 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, sampai sekarang Kurikulum Merdeka.


Katanya sih tiap kurikulum “lebih baik dari sebelumnya”. Tapi yang terasa, guru dan siswa seperti kelinci percobaan. Belum juga paham dengan kurikulum lama, eh sudah datang kurikulum baru.


Ironisnya, nama kurikulumnya selalu keren: ada kata “merdeka”, “kompetensi”, “berkarakter”. Padahal di kelas, masih banyak siswa bingung membedakan fakta dengan opini, atau sibuk hapal definisi sambil ngantuk.

Guru, Siswa, dan Drama Admin

Masalah klasik: guru lebih banyak sibuk dengan administrasi ketimbang mendidik. RPP bisa sampai berlembar-lembar, sementara siswanya tetap kebingungan di kelas.

Siswa? Jangan ditanya. Mereka lebih jago bikin konten TikTok ketimbang esai sederhana. Bukan salah mereka sepenuhnya—lingkungan memang mengajarkan bahwa viral lebih penting daripada literasi.

Bonus demografi? Kalau begini terus, jangan-jangan yang kita hasilkan adalah bonus pengangguran.

Industri Butuh Apa, Sekolah Ajarkan Apa

Dunia kerja butuh orang kreatif, kritis, bisa kerja tim, paham teknologi. Sekolah kita? Masih sibuk adu cepat menyalin catatan di papan tulis.

Industri sudah pakai AI, coding, dan data analytics. Anak-anak kita masih pusing disuruh hapal “pengertian koperasi menurut ahli”.

Hasilnya? Begitu lulus, banyak anak muda yang tidak match dengan dunia kerja. Bonus demografi jadi jebakan Batman.

Satire Kecil untuk Para Pengambil Kebijakan

Para pejabat pendidikan kita suka pidato tentang “revolusi industri 4.0”, “society 5.0”, dan “generasi emas 2045”. Kedengarannya futuristik, padahal di banyak sekolah masih rebutan kapur tulis.

Mau bonus demografi jadi berkah? Ya perbaiki dulu sistem pendidikan. Jangan cuma sibuk ganti nama kurikulum tiap lima tahun, tapi lupa kalau anak-anak butuh keterampilan nyata: berpikir kritis, literasi digital, etika, dan tentu saja… kesempatan.


Bonus atau Boncos?

Kalau pendidikan kita tetap jalan di tempat, bonus demografi yang katanya emas bisa berubah jadi tembaga berkarat. Banyak tenaga kerja, tapi tidak siap bersaing. Banyak anak muda, tapi jadi frustrasi.


Bonus demografi bukan sekadar angka statistik. Itu kesempatan yang hanya datang sekali. Kalau gagal dimanfaatkan, siap-siap saja generasi mendatang mewarisi bukan emas, tapi utang masalah.

Jadi, mau kita jadikan bonus demografi ini berkah, atau kita biarkan jadi bahan lelucon sejarah?

Related Posts
Newest Older
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment