Drama Sunyi di Balik Meja Kelas
Seorang guru berbagi kisah murid yang diam dan lesu karena hidup dalam keluarga patah. Ayah tiada, ibu sibuk, nilai rapor jadi kambing hitam. Sebuah potret getir tentang anak-anak yang tumbuh di antara kesibukan orang dewasa dengan sedikit satire agar kita bisa menelan kenyataan pahit ini.
Ketika Diam Bersuara Lebih Keras
Suatu siang di ruang kelas yang biasanya riuh, ada satu sudut yang terasa dingin:
Seorang murid saya sudah sebulan lebih masuk sekolah dengan wajah lesu lebih lesu dari biasanya.
Pertanyaan sederhana seperti “Kamu kenapa?” hanya dibalas dengan diam yang panjang.
Diam yang, entah bagaimana, lebih bising daripada bunyi bel pulang.
Sebagai guru, saya tahu ini bukan sekadar bad mood karena PR.
Diam seperti ini biasanya menyimpan kisah yang jauh lebih berat daripada sekadar kehilangan penghapus.
Latar Belakang yang Mengiris
Setelah meminta waktu untuk berbicara berdua, cerita itu akhirnya terbuka, meski pelan-pelan.
Orang tuanya sudah berpisah.
Ia tinggal bersama ibu dan kakaknya.
Setiap pulang sekolah, rumahnya hanya diisi sepi.
Sore kakaknya baru pulang, malam baru ibunya datang—itu pun dengan wajah lelah dan emosi yang rapuh.
Suatu malam, ibunya marah besar.
Barang-barang dilempar.
Anak ini, yang sudah lebih banyak menelan ketakutan daripada susu, hanya bisa gemetar.
Nilai ujian yang jelek jadi alasan marah.
Padahal kita semua tahu, matematika tak pernah bisa jadi kambing hitam yang adil.
Fatherless, Momless, dan Kesepian Kolektif
Orang menyebut anak tanpa ayah sebagai fatherless.
Tapi bagaimana jika yang tersisa adalah ibu yang fisiknya hadir, tapi emosinya absen?
Apakah itu momless?
Anak ini seperti mendapat paket kombo: fatherless plus momless, versi rumah tangga single player.
Ironisnya, masyarakat lebih sibuk mengomentari nilai raport ketimbang kondisi rumahnya.
Seolah angka di kertas lebih penting daripada luka di hati.
Sibuk Mengejar, Lupa Memeluk
Mari kita jujur: kita hidup di zaman di mana orang tua sering lebih rajin update status ketimbang update perasaan anaknya.
Foto keluarga di media sosial bisa tampak rapi dan hangat, tapi kenyataan di balik pintu rumah bisa seperti cuplikan film arthouse yang suram.
Ibu bekerja keras karena tuntutan hidup.
Tapi di balik gaji yang masuk tiap bulan, ada anak yang menunggu pelukan yang tak kunjung datang.
Ayah entah di mana, mungkin sibuk mengunggah foto kopi di kafe kekinian.
Dan anak? Hanya diam, karena diam lebih aman daripada menjelaskan rasa takut.
Antara Papan Tulis dan Papan Curhat
Di tengah semua ini, guru sering jadi benteng terakhir.
Kami diminta mengajar matematika, tapi ujung-ujungnya malah jadi psikolog, konselor, bahkan teman curhat.
Bedanya, gaji guru tidak termasuk tunjangan healing.
Saya hanya bisa mendengarkan, menenangkan, dan sesekali menyisipkan humor receh agar anak ini tahu bahwa dunia tidak sepenuhnya dingin.
Tapi dalam hati, saya sadar:
Seberapa sering pun saya menambahkan “nilai plus” di kertas ujian, saya tak bisa mengganti pelukan seorang ibu.
Lebih dari Sekadar Angka
Cerita ini bukan hanya tentang satu murid.
Ini tentang banyak anak yang tumbuh dalam rumah yang sibuk rumah yang penuh jadwal, penuh target, tapi minim sentuhan.
Kita sering lupa bahwa anak butuh kehadiran, bukan sekadar kiriman pulsa.
Jadi sebelum menanyakan nilai raport, mungkin kita perlu menanyakan:
“Apakah kamu bahagia hari ini?”
Sederhana, tapi kadang lebih penting daripada seribu angka.
Jangan Hanya Hadir di Foto
Kehidupan modern memang kejam:
Orang tua bekerja mati-matian agar anaknya punya masa depan, tapi justru lupa hadir di masa kini.
Padahal anak tidak bisa di-pause seperti video YouTube.
Mereka tumbuh sekarang, bukan besok.
Fatherless itu sedih.
Momless itu perih.
Tapi paling menyakitkan adalah ketika orang tua ada, namun kehadirannya hanya berupa nama di grup WhatsApp kelas.