Perjalanan Pemikiran Seorang Anak Kos yang Berani Membantah
Sebaik-baiknya kebaikan bukanlah sekadar baik yang tampak. Ia adalah kebaikan yang tidak memaksa orang lain menjadi baik. Ia tidak menggurui atau menasihati secara serampangan. Ia tidak hadir untuk mendominasi, tapi untuk menginspirasi. Kebaikan, dalam pemahaman saya hari ini, adalah tentang keseimbangan antara niat, tindakan, dan dampaknya pada semesta. Baik yang bijak. Baik yang tidak bising. Baik yang biak. Kira-kira sebelas tahun yang lalu, saya menyelesaikan studi dari sebuah kampus pendidikan yang bagi sebagian orang dianggap biasa, namun bagi saya adalah tempat penempaan paling liar. Enam bulan setelah itu, saya memutuskan mengasingkan diri ke tanah para daeng. Sendiri, jauh dari hiruk-pikuk zona nyaman. Tapi sebelumnya, saya habiskan tiga tahun terakhir kuliah sebagai “jangkrik” kampus. Gelarnya tidak resmi, tapi aktivitasnya sah: hidup di kampus dari malam hingga dini hari, lebih akrab dengan kesunyian sekretariat dibanding kasur kos.
Kala itu bangunan yang sekarang berdiri megah dengan warna hijau belum ada. Hanya puing-puing dan tumpukan material yang belum jadi. Padahal, rumah saya hanya berjarak sekitar sembilan kilometer dari kampus. Tapi entah kenapa logika saya saat itu memilih untuk tidur di kampus. Saya tercatat sebagai penghuni kos, tapi kenyataannya saya lebih sering menginap di sekret lama—ruang kecil yang kami klaim sebagai markas aktivisme.
Saya bahkan investasi permanen: handuk, sikat gigi, sabun mandi—semuanya ada di kamar mandi sekret. Pulang hanya saat sangat diperlukan atau ketika ada agenda formal yang mewajibkan memakai pakaian yang tidak beraroma kopi dingin semalaman.
Yang menarik, sebelum gedung fakultas itu berdiri, saya dan rekan-rekan sudah lebih dulu ‘mengamankan’ salah satu ruang kosong. Kami deklarasikan sebagai sekretariat kami sendiri. Tidak resmi, tentu saja. Tapi cukup militan. Bahkan ketika penggusuran demi penggusuran dilakukan oleh pihak kampus, kami berani berdiri di depan, menolak, menantang.
Kami ini anak-anak yang punya nama tengah “membantah.” Tak ada satu pun kebijakan yang kami iyakan dengan cepat, bahkan dari para dosen yang berjasa mendidik kami. Rasanya seperti pepatah lama: “Memelihara anak macan sejak kecil, lalu dipangsa ketika besar.” Mungkin itu yang mereka rasakan. Tapi bagi kami, pembangkangan adalah cara untuk berpikir. Kritik adalah cara mencintai.
Dari kebijakan PLPG, peraturan seragam magang, hingga peresmian gedung, semua kami soroti. Gaya aktivisme kami kala itu begitu khas: semangat tinggi, teori melimpah. Mulai dari Marxisme, Freirean, hingga dalil-dalil agama—semuanya kami jadikan bumbu dalam setiap dialektika. Kami berani mengutip sejarah nabi dan menghubungkannya dengan politik kampus. Kadang benar, kadang terlalu berlebihan. Tapi itulah gaya kami.
Hari ini, jika saya membaca ulang lembar-lembar pemikiran lama itu, mungkin saya akan senyum geli. Terlalu heroik. Terlalu percaya diri. Tapi di balik semua itu, ada semangat muda yang tak boleh diremehkan. Semangat untuk tidak diam. Semangat untuk terus berpikir. Semangat untuk membela yang tertindas meski belum tentu benar.
Kini, ketika saya berada di dunia kerja, kadang muncul pertanyaan dari dalam diri: apakah semua itu masih relevan? Apakah masih layak memperjuangkan kebenaran dengan suara keras? Ataukah cukup menyuarakan dengan tenang, tapi tegas?
Saya belum tahu jawaban pastinya. Tapi satu hal yang saya pelajari: kebaikan tidak harus gaduh. Tidak harus selalu pakai pengeras suara. Terkadang, diam dan konsisten juga adalah bentuk kebaikan yang luar biasa. Kebaikan yang bukan hanya baik—tapi juga bijak.
Dan saya percaya, setiap orang bisa menempuh jalannya sendiri dalam mencari dan menanamkan kebaikan. Tak harus sama jalurnya, tak perlu sama kerasnya. Asal tujuannya satu: menjadikan dunia sedikit lebih adil, sedikit lebih damai, dan lebih masuk akal untuk ditinggali bersama.