uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Ngoding Buat Bocah SD, Emang Nggak Kepagian?

Kalau dulu anak SD sibuk main bola plastik, lompat tali, dan bikin roket dari sedotan bekas, sekarang ada tambahan satu kegiatan baru yang (katanya) keren banget: ngoding.

Yes, ngoding. Aktivitas yang dulu identik sama anak kuliahan jurusan IT atau mas-mas startup di coworking space yang ngetiknya cepet kayak ngejar kereta. Sekarang, dunia pendidikan kita sedang berbenah dan menyisipkan koding ke dalam kurikulum, bahkan sejak fase C—alias kelas 5 dan 6 SD. 

Pertanyaannya: Kenapa sih harus ngoding? Emang anak SD nggak bisa nunggu SMP aja?

Ngoding Itu Nggak Melulu soal Jadi Programmer 

Pertama, mari luruskan dulu pemahaman. Pembelajaran koding buat anak SD bukan berarti mereka akan langsung disuruh bikin aplikasi pinjol atau sistem ERP. Yang diajarkan itu dasar-dasarnya, kayak algoritma, logika berpikir, dan pengenalan struktur perintah. Bahasa kerennya: computational thinking.

Ini penting banget karena logika ngoding itu bisa ngelatih cara berpikir sistematis dan memecahkan masalah. Bukan cuma urusan komputer, tapi juga dalam hidup. Misal, kalau mau bikin mie instan, ya step-nya harus bener: panasin air dulu, bukan malah buka mie terus dimakan kering. 

Kenapa Harus dari Kecil?

Karena seperti belajar bahasa, ngoding itu makin mudah diserap kalau dimulai sejak dini. Anak-anak lebih gampang adaptasi dengan hal baru, lebih berani bereksperimen, dan nggak takut salah. Lagipula, ini bukan tentang memaksa semua anak jadi programmer, tapi memberi mereka alat berpikir masa depan.

Sekarang lihat sekeliling: hampir semua bidang pakai teknologi. Mau jadi petani, ada pertanian digital. Mau buka warung, ada aplikasi kasir. Bahkan konten kreator pun perlu ngerti algoritma YouTube dan edit video pakai software. Dan semua itu, ujung-ujungnya butuh pemahaman digital minimal.

Lalu, Guru Harus Apa?

Nah, ini bagian tricky-nya. Guru di tingkat SD, khususnya kelas 5 dan 6, belum tentu semua familiar sama yang namanya koding. Maka, pelatihan buat guru adalah hal wajib. Jangan sampai muridnya sudah semangat ngoding, gurunya malah panik karena dikira “virus”.

Guru perlu dibekali bukan hanya pengetahuan teknis, tapi juga pendekatan pedagogis: gimana caranya ngajarin koding tanpa bikin anak stres? Misalnya, pakai tools visual seperti Scratch, Blockly, atau Code.org yang bentuknya mirip mainan tapi sejatinya adalah pelatihan logika.

Dan penting juga: jangan jadikan koding sebagai momok ujian. Koding itu harus menyenangkan, eksploratif, dan menumbuhkan rasa penasaran. Bukan malah jadi soal pilihan ganda dengan empat jawaban yang semua bener tapi disuruh pilih yang “paling benar”. 

Peran Orang Tua Juga Nggak Bisa Dikecilkan

Banyak orang tua yang begitu dengar anaknya belajar ngoding, langsung panik. “Lha, bapaknya aja nggak bisa nyalain WiFi!” Tapi tenang, orang tua nggak harus jago teknologi kok. Yang penting adalah dukungan dan apresiasi terhadap proses belajar anak.

Kalau anak bikin game sederhana atau animasi bergerak, jangan diremehkan. Bisa jadi itu cikal bakal kreativitas yang akan berkembang. Jangan juga langsung nuntut hasil: “Mana aplikasimu? Udah bisa kayak Tokopedia belum?”

Orang tua cukup bantu dengan menyediakan waktu, ruang, dan akses. Kalau bisa sediakan laptop atau tablet (nggak harus mahal), pastikan koneksi internet stabil (biar nggak buffering pas loading project), dan dampingi saat anak belajar, meski cuma dengan menyimak sambil minum kopi.

Siswa: Siap Nggak, Nak?

Buat anak-anak, ngoding itu bukan beban. Asal dibungkus dengan metode yang menyenangkan, mereka justru akan antusias. Dunia mereka penuh imajinasi dan logika ngoding itu bisa jadi “mainan intelektual” yang menantang. Bahkan bisa jadi pelampiasan yang lebih baik daripada nonton YouTuber prank atau buka-buka FYP TikTok.

Yang penting, jangan memaksa semua anak harus jadi jago ngoding. Sama kayak musik, seni, atau olahraga—ada yang cocok, ada yang nggak. Tapi memperkenalkan dan membekali mereka dengan pengetahuan dasarnya, adalah bentuk investasi literasi digital paling masuk akal untuk masa depan.

Biar Lambat Asal Ngoding

Mengintegrasikan koding di fase C adalah langkah berani. Tapi harus diiringi kesiapan ekosistemnya: guru yang dilatih, orang tua yang mendukung, dan siswa yang diberi ruang untuk bermain dan belajar. Ini bukan tentang mencetak anak jadi teknokrat, tapi mempersiapkan mereka agar nggak gagap digital.

Karena dunia sekarang dan ke depan bukan hanya soal siapa yang hafal rumus, tapi siapa yang bisa berpikir logis, adaptif, dan tahu kapan harus klik, run, atau debug hidupnya.

Related Posts
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment