Akhir-akhir ini, grup WhatsApp mendadak jadi tempat paling hangat. Bukan karena ada kabar duka, bukan pula karena jualan keripik singkong atau undangan arisan. Tapi karena satu kalimat sakti: “Alhamdulillah, gaji kami naik, teman-teman…”
Kalimat yang di satu sisi penuh syukur, tapi di sisi lain bisa bikin jantung sebagian anggota grup deg-degan. Apalagi yang merasa sudah lama bekerja, kinerja konsisten, tapi gaji masih begitu-begitu saja.
Momen-momen seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Di dunia kerja, naik gaji adalah impian tiap insan. Tapi saat yang naik cuma segelintir kawan, dan diumumkan di grup yang isinya beragam profesi dengan latar belakang berbeda, maka kemungkinan munculnya drama bukan sekadar asumsi—itu kenyataan yang tinggal tunggu waktu.
Dari Ucapan Selamat ke Suasana Sunyi
Awalnya memang ramai:“Wah, selamat ya!”
“Alhamdulillah, rezeki engkau, Bro!”
“Doain aku nyusul!”
Tapi percayalah, dua hari kemudian, grup itu sepi. Yang biasanya ramai bahas kucing hilang dan video TikTok, mendadak bungkam. Yang biasanya ngegas, sekarang nge-rem. Yang biasanya nyepam stiker, sekarang jadi silent reader.
Bukan karena tidak bahagia. Tapi karena pelan-pelan mulai muncul rasa: kok bisa dia naik, aku nggak? atau kita sama-sama kerja keras, tapi kenapa nasib beda?.
Inilah saat paling genting dalam hubungan digital: saat selisih pendapatan mulai berpotensi jadi selisih pendapat.
Gaji Naik Itu Hak, Iri Dengki Itu Pilihan
Perlu diingat, naik gaji itu bukan dosa. Dan membagikannya di grup, selama konteksnya syukur bukan pamer, juga bukan kesalahan. Yang jadi masalah adalah ketika yang mendengar tidak cukup punya mental tahan banting untuk ikut bahagia.Kita semua tahu, dunia kerja tak selalu adil. Kadang yang kerja keras tetap stagnan, sementara yang jago pencitraan melesat. Tapi bukan berarti setiap pencapaian orang lain harus kita curigai. Bisa jadi, rezekinya memang sudah saatnya.
Lagipula, siapa yang tahu, mungkin bulan depan giliran Anda yang diumumkan naik jabatan atau pindah ke tempat kerja yang lebih baik. Dunia ini muter, bos.
Manajemen Perasaan Jauh Lebih Penting dari Manajemen SDM
Di antara banyak keterampilan hidup, satu yang jarang diajarkan di sekolah tapi paling penting di dunia nyata adalah: mengelola hati saat melihat orang lain lebih beruntung.Karena hidup ini bukan lomba lari estafet, di mana kita harus lebih cepat dari orang lain. Tapi lebih seperti hiking: sama-sama menanjak, tapi tiap orang punya jalur dan waktu tempuh masing-masing.
Kalau ada yang naik duluan, ya disemangatin, bukan ditarik turun. Karena besok-besok bisa jadi dia yang bantu narik kita saat kaki kita kram di tanjakan berikutnya.
Agar Grup WhatsApp Tetap Damai dan Nyaman
Jadi kalau minggu ini grup Anda sedang diramaikan kabar kenaikan gaji sebagian kawan, tak usah panik. Boleh bahagia, boleh nyelutuk becanda, tapi jangan sampai jadi bibit baper.Dan bagi yang gajinya belum naik, tenang saja. Kadang, yang tidak naik gaji justru naik kualitas sabarnya. Siapa tahu itu yang lebih dibutuhkan saat ini.
Yang penting, jangan sampai grup WhatsApp yang awalnya tempat ketawa bareng, berubah jadi medan perang batin. Mari rawat komunikasi, jaga hati, dan tetap saling mendoakan dalam diam.
Karena seperti kata pepatah lama (yang baru saya buat),
“Yang naik gaji itu teman, bukan lawan”