
Dalam dunia kerja yang katanya profesional, kadang realitasnya lebih mirip drama kolosal ketimbang institusi berakal sehat. Di situ ada tokoh utama, tokoh antagonis, cameo penjilat, dan… pemimpin yang perannya ambigu: kadang bijak, kadang malah jadi bensin yang tumpah di api konflik.
Saya pernah berada dalam posisi itu. Bukan tokoh utama, bukan pula cameo. Tapi sebagai pemeran pendukung dari kelompok minoritas yang selalu dianggap “berbeda”. Bukan karena warna kulit, agama, atau orientasi politik. Tapi hanya karena kami tidak ikut arus.
Kelompok mayoritas di tempat kerja saya ini punya kuasa tak tertulis. Mereka bisa menentukan siapa yang “boleh” jadi teman dan siapa yang harus dipinggirkan. Seolah kantor ini milik keluarga mereka sejak zaman VOC.
Minoritas Tak Selalu Salah, Tapi Sering Disalahkan
Lucunya, kelompok mayoritas ini seolah menganggap bahwa berbeda = bermasalah. Orang yang kerja dengan cara beda, pendapat beda, atau sekadar memilih makan siang sendiri pun dicurigai sebagai agen perpecahan.“Kenapa sih dia selalu beda sendiri?”
“Kayak gak mau gabung aja.”
Padahal, kalaupun kami mau gabung, mereka juga tidak membuka pintu. Cuma berdiri sambil bilang, “Yuk, kalau mau gabung…” Tapi giliran ikut duduk, kita jadi bahan omongan. Serba salah. Duduk salah, berdiri dianggap sombong.
Dan puncaknya? Ketika semua mulai meruncing, dan semestinya pemimpin turun tangan, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menenangkan suasana, pemimpin kami justru lempar bensin ke bara api. Mungkin biar dramanya makin greget. Atau biar dia punya alasan bikin rapat evaluasi dadakan.
Pemimpin Harusnya Jadi Payung, Bukan Pipa Bocor
Sungguh mengecewakan ketika orang yang seharusnya berdiri di tengah, justru memilih berdiri di kerumunan. Yang lebih parah, ikut mengolok, menambahkan narasi-narasi negatif, dan mendiamkan ketidakadilan seperti itu sah-sah saja.Padahal, tugas pemimpin bukan menambah suara mayoritas. Tapi menjaga agar semuanya tetap seimbang. Bahwa ada keberagaman karakter di tim adalah sebuah anugerah, bukan kutukan. Tapi sayang, banyak pemimpin yang terlalu nyaman jadi juru damai versi lips service.
Bisa dibilang, pemimpin kami waktu itu gagal. Dan sayangnya, dia tidak tahu bahwa kegagalan memimpin kelompok kecil bisa berdampak besar: tim retak, semangat kerja hilang, dan kepercayaan runtuh seperti harga crypto waktu Elon Musk nge-tweet.
Karena dalam komunitas kerja, yang sehat bukan yang selalu kompak dalam bisik-bisik gosip, tapi yang saling menghargai ruang berbeda. Sayangnya, banyak yang mengira kekompakan itu berarti seragam, sevisi, sekolot, sekubangan.
Semoga kamu, saya, dan mereka yang pernah merasa di pinggirkan, suatu hari bisa berada di tempat yang lebih waras. Dan semoga, para pemimpin kita sadar, bahwa memimpin bukan soal senyum di pagi apel, tapi bagaimana tetap berdiri netral di tengah konflik. Bukan malah nimbrung sambil bawa galon minyak.
Bisa dibilang, pemimpin kami waktu itu gagal. Dan sayangnya, dia tidak tahu bahwa kegagalan memimpin kelompok kecil bisa berdampak besar: tim retak, semangat kerja hilang, dan kepercayaan runtuh seperti harga crypto waktu Elon Musk nge-tweet.
Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?
Nah, ini bagian yang kadang bikin kita lelah. Karena minoritas seringnya tidak punya panggung. Tapi bukan berarti tidak punya pilihan.Pertama, tetap jaga integritas.
Kalau kamu satu dari kelompok minoritas, jangan ikut tenggelam dalam kebencian. Fokus bekerja. Kerja bagus adalah satu-satunya tameng yang kadang masih bisa bicara di tengah diamnya keadilan.Kedua, dokumentasikan.
Bukan buat drama, tapi untuk keamanan. Simpan semua bukti perlakuan tidak adil, karena kamu nggak pernah tahu ke depan bakal seperti apa. Bisa jadi saat kamu lelah diam, bukti-bukti itu jadi penyelamat.Ketiga, cari sekutu.
Bukan untuk melawan, tapi untuk saling menguatkan. Kadang satu suara minoritas tenggelam, tapi lima suara minoritas bisa jadi gemuruh yang nggak bisa diabaikan.Keempat, naik level.
Jika kamu merasa sistem tidak bisa diperbaiki dari dalam, dan pemimpin sudah terlalu larut dalam toxic-nya, mungkin ini saatnya kamu naik level. Entah pindah ke tempat yang lebih sehat, atau jadi pemimpin yang lebih baik dari mereka yang pernah melukai.Kita Tidak Selalu Butuh Diterima
Satu hal yang saya pelajari dari kejadian ini adalah: kita tidak selalu harus diterima semua orang. Kadang, cukup menjadi diri sendiri yang tidak menyakiti siapa pun, dan tetap bisa tidur nyenyak tiap malam.Karena dalam komunitas kerja, yang sehat bukan yang selalu kompak dalam bisik-bisik gosip, tapi yang saling menghargai ruang berbeda. Sayangnya, banyak yang mengira kekompakan itu berarti seragam, sevisi, sekolot, sekubangan.
Semoga kamu, saya, dan mereka yang pernah merasa di pinggirkan, suatu hari bisa berada di tempat yang lebih waras. Dan semoga, para pemimpin kita sadar, bahwa memimpin bukan soal senyum di pagi apel, tapi bagaimana tetap berdiri netral di tengah konflik. Bukan malah nimbrung sambil bawa galon minyak.