![]() |
Rangkuman BAB 3 IPAS Kelas 6 Topik B - Kurikulum Merdeka |
Peternak Selandia Baru vs Amerika Serikat
Selandia Baru (New Zealand) dikenal sebagai negara agraris modern yang berhasil menaklukkan pasar dunia. Bayangkan saja, 95% hasil pertanian dan peternakannya diekspor ke berbagai negara. Produk andalannya antara lain buah-buahan, susu, keju, wol, hingga daging sapi dan domba.
Apa rahasia kualitasnya?
Jawabannya ada pada komitmen pemerintah. Selama puluhan tahun, Selandia Baru mengalokasikan pajak untuk mendukung petani: mulai dari riset, inovasi teknologi, hingga pengembangan kapasitas. Para petani pun didorong fokus pada produk unggulan sesuai kondisi geografis, iklim, dan sumber daya yang mereka miliki.
Bandingkan dengan kondisi di Amerika Serikat. Subsidi memang ada, tetapi sering kali justru membuat petani bergantung pada pemerintah. Ironisnya, dana besar itu kadang jatuh ke tangan perusahaan besar, bukan petani kecil. Akibatnya, kualitas komoditas agraria Amerika kalah bersaing dengan Eropa dan Australia.
Denmark dan China: Memanfaatkan Angin Jadi Energi
Denmark adalah contoh negara yang cerdas memanfaatkan kondisi geografisnya. Terletak di antara Laut Utara dan Laut Baltic, negeri ini dihantam angin kencang hampir sepanjang tahun. Alih-alih mengeluh, Denmark mengubah angin itu jadi sumber energi terbarukan.
Hari ini, lebih dari 45% kebutuhan energi Denmark dipasok dari pembangkit listrik tenaga angin. Targetnya, pada tahun 2050, negara ini bisa sepenuhnya memakai energi ramah lingkungan. Turbin-turbin raksasa dipasang di lepas pantai maupun daratan, menjadikan Denmark pelopor energi hijau dunia.
China juga tak mau kalah. Salah satu kebun angin terbesar mereka ada di Huitengxile, kawasan dengan topografi yang mendukung kecepatan angin tinggi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Faktanya, Indonesia juga punya potensi besar. Sejak 2020, pemerintah mulai berdiskusi dengan Denmark dan China untuk mengembangkan energi angin di tanah air.
Belajar dari Singapura: Negara Kecil, Visi Besar
Singapura hanyalah negara kecil di Semenanjung Malaya. Tidak punya banyak sumber daya alam, bahkan saat merdeka pada 9 Agustus 1965, negeri ini dilanda pengangguran dan resesi. Namun, kepemimpinan Lee Kuan Yew mengubah segalanya.
Singapura menempuh empat tahap pembangunan singkat dan sistematis:
-
Mengolah sumber daya alam mentah (misalnya pengilangan minyak) untuk diekspor.
-
Restrukturisasi industri: dari padat karya menjadi padat modal dengan mekanisasi dan komputerisasi.
-
Restrukturisasi sektor jasa: meningkatkan kualitas bandara, pelabuhan, hingga fasilitas umum berstandar internasional.
-
Meningkatkan kualitas teknologi dan sumber daya manusia.
Hasilnya? Dalam waktu singkat, Singapura menjadi negara maju pertama di ASEAN, pusat perdagangan, dan salah satu ekonomi paling inovatif di dunia.
Jepang: Bersahabat dengan Gempa Bumi
Indonesia dan Jepang sama-sama berada di Cincin Api Pasifik, wilayah rawan gempa. Bedanya, Jepang jauh lebih sering diguncang. Sekitar 1.500 gempa terjadi setiap tahun! Salah satunya, gempa Kobe 1995 yang menewaskan lebih dari 6.000 orang.
Namun, Jepang tidak menyerah. Mereka belajar dari bencana dengan tiga langkah penting:
-
Mitigasi dan latihan: Anak-anak sekolah terbiasa latihan evakuasi setiap bulan. Alarm berbunyi → murid bersembunyi di bawah meja → evakuasi teratur ke tempat aman.
-
Fasilitas perlindungan: Jalur evakuasi, penampungan darurat, dan pintu air tsunami dibangun di berbagai wilayah.
-
Inovasi bangunan tahan gempa: Beton bertulang dengan bantalan karet atau minyak membuat ribuan konstruksi di Jepang lebih tahan guncangan.
Hasilnya, Jepang kini dikenal sebagai negara paling siap menghadapi gempa. Pendidikan mitigasi ditanamkan sejak kecil, membentuk masyarakat yang tangguh, saling tolong-menolong, dan siap menyelamatkan nyawa orang lain saat bencana datang.
🌍 Dari peternakan Selandia Baru, energi angin Denmark, strategi Singapura, hingga mitigasi bencana di Jepang, kita belajar bahwa setiap negara bisa maju jika mampu membaca peluang dari kondisi geografisnya masing-masing.