Dalam dunia yang serba ngebut, kecepatan sering disalahartikan sebagai kemenangan. Artikel ini mengajak kita menertawakan dan merenungkan bagaimana menjadi gesit tanpa jadi nyebelin, dan tajam tanpa jadi tukang tikam.
Ketika Hidup Jadi Lomba Sprint
Zaman sekarang, semua serba ingin cepat. Paket kilat, internet super ngebut, bahkan jodoh pun dikejar lewat aplikasi swipe kiri-kanan. Cepat jadi mantra kebanggaan.
Tapi, seperti pepatah bijak (dan sedikit nyinyir) bilang: boleh cepat, tapi jangan mendahului.
Karena beda tipis antara gesit dan sok tahu.
Antara proaktif dan rese.
Cepat memang keren, tapi mendahului bisa bikin kacau. Misalnya:
- Cepat memberi saran, padahal yang ditanya baru setengah cerita.
- Cepat menyimpulkan, padahal fakta baru keluar dua menit kemudian.
- Cepat menyalip, lalu masuk grup WA “Kecelakaan Hari Ini.”
Kecepatan tanpa arah itu seperti lari kencang di treadmill: capek sendiri, ujungnya tetap di tempat.
Antara Analisis dan Tusukan
Selain cepat, kita juga suka “tajam”. Tajam analisis, tajam argumen, tajam kritik. Bagus, dong. Dunia butuh orang yang berpikir kritis.
Tapi nah ini, boleh tajam, tapi jangan melukai.
Karena beda tipis antara kritik dan nyinyir, antara jujur dan julid.
Contoh klasik:
- “Menurut saya tugas kamu kurang maksimal,” → kritik sehat.
- “Tugas kamu jelek, kayak niat hidup kamu,” → senjata makan tuan.
Lidah (dan jari di keyboard) memang lebih cepat dari otak. Sekali keluar, kata-kata bisa jadi seperti silet: kecil, tapi nyeseknya lama.
Cepat dan Tajam
Media sosial adalah rumah pesta untuk mereka yang ingin cepat dan tajam.
Sebuah isu muncul pukul 09.00, pukul 09.05 sudah ada “ahli dadakan” dengan analisis lengkap plus teori konspirasi.
Belum lagi komentar yang lebih pedas dari cabai rawit harga naik.
Semua ingin jadi yang tercepat menulis, yang tertajam berargumen. Tapi sedikit yang mau jadi yang paling paham.
Keanggunan Menahan Diri
Padahal, kecepatan dan ketajaman tak harus mengorbankan kelembutan. Ada seni untuk jadi cepat tanpa mendahului misalnya dengan mendengar penuh sebelum menanggapi.
Ada pula cara jadi tajam tanpa melukai yakni mengkritik perilaku, bukan pribadi; menyasar masalah, bukan harga diri.
Ini seperti memegang pisau dapur: tajamnya bermanfaat kalau dipakai memotong sayur, tapi bisa bahaya kalau dipakai sembarangan.
Kuncinya bukan tumpul atau tajam, tapi niat pengguna.
Hidup Bukan Balapan, Tapi Perjalanan
Pada akhirnya, dunia memang semakin cepat. Tapi kita tak harus ikut lomba sprint yang tidak kita pahami.
Kadang yang paling berkelas adalah mereka yang memilih melangkah pelan, mendengar utuh, dan menanggapi dengan lembut meski punya kapasitas untuk menyalip semua orang.
Boleh cepat, tapi jangan mendahului.
Boleh tajam, tapi jangan melukai.
Karena hidup bukan soal siapa yang paling ngebut, tapi siapa yang paling bisa membuat orang lain tetap nyaman meski kita melangkah lebih dulu.