uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Aku Foto Maka Aku Ada

Aku Foto Maka Aku Ada
Aku Foto Maka Aku Ada

“Dunia yang Menyembah Jepretan”

Di era di mana kamera jadi hakim kebenaran, foto bukan lagi sekadar kenangan, tapi mata uang eksistensi. Tapi hati-hati di balik senyum di depan lensa, bisa jadi tak ada apa-apa selain gaya pura-pura.

Aku Foto Maka Aku Ada

Kalau dulu René Descartes bilang “Aku berpikir maka aku ada,” sekarang dunia sudah upgrade versi: “Aku foto maka aku ada.”

Tak peduli sedang apa, yang penting klik baru dianggap hidup. Tanpa foto, aktivitasmu seperti tak pernah terjadi. Mau ikut rapat, gotong royong, atau sekadar makan siang tanpa bukti visual, statusmu rawan dianggap hoaks.

Di era ini, eksistensi seseorang tak lagi diukur dari karya, tapi dari story dan feed. Mau rajin kerja? Percuma kalau tak diabadikan. Mau tidur siang? Minimal foto bantalnya, biar orang tahu kamu masih bernafas.

Antara Fakta dan Fiksi

Masalahnya, foto itu licik. Ia bisa menampilkan “realita” yang sebenarnya ilusi. Seorang petugas bisa berpose di depan tumpukan berkas, padahal yang mengerjakan berkasnya orang lain.

Klik! Jadi.

Lalu kirim ke grup kantor: “Kerja keras demi kemajuan bersama.”

Yang benar-benar kerja? Diam. Tak sempat selfie karena tangannya sibuk menulis laporan. Akhirnya yang dipuji siapa? Yang rajin jepret. Dunia memang adil… untuk kamera.

Panggung Eksistensi di Balik Lensa

Dalam sistem penilaian zaman ini, foto adalah mata uang. Mau dianggap aktif? Foto. Mau dinilai kreatif? Foto. Mau naik jabatan? Minimal sering muncul di foto.

Tak heran, beberapa orang rela menunda pekerjaan demi mencari angle terbaik. Kerjaan bisa menunggu, tapi cahaya senja hanya sebentar.

Di sekolah, guru yang sungguh-sungguh mengajar kadang kalah pamor dari guru yang rajin selfie di depan mural kelas. Di kantor, karyawan yang betul-betul lembur kalah like dari karyawan yang cuma numpang foto di depan tumpukan map. Kamera memang tak kenal moral, yang penting pose.

Tipuan Cahaya, Tipuan Pikiran

Ironisnya, foto yang kita lihat di layar sering kali hanya serpihan realita. Bayangan yang dipoles filter, diatur pencahayaan, dan diberi caption dramatis. “Kerja keras tanpa kenal lelah,” tulisnya, padahal lima menit kemudian sudah rebahan sambil scroll TikTok.

Foto bisa menipu kita untuk percaya bahwa yang penting adalah tampilan, bukan proses. Kita lupa bahwa tugas selesai bukan karena kamera, tapi karena kerja nyata. Jepretan hanyalah hiasan; keringat tak selalu tertangkap lensa.

Kamera Tak Pernah Bohong, Manusia Sering

Kamera memang tak berbohong, tapi manusia di depannya ahli menipu. Lensa hanya merekam cahaya, bukan niat. Itu sebabnya seseorang bisa terlihat sibuk meski hatinya sedang menghitung jam pulang.

Dan kitapun penonton setia dengan suka rela tertipu, memberi like, komentar, dan tepuk tangan digital.

Lebih dari Sekadar Jepretan

Foto memang penting. Ia menyimpan kenangan, menjadi bukti sejarah, dan kadang jadi pengingat bahagia. Tapi kalau eksistensi kita hanya bergantung pada klik kamera, kita hanyalah bayangan piksel hidup untuk lensa, bukan untuk makna.

Jadi sebelum buru-buru angkat ponsel demi eksistensi, mungkin kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar hidup, atau hanya berpose?

Related Posts
Newest Older
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment