Dari Sekolah Rendah ke Kota Tua Malaka
Setelah berpamitan dengan pengurus sekolah rendah, rombongan kami bersiap melanjutkan perjalanan. Pak Direktur sudah lebih dulu duduk manis di van, sementara bus-bus lain juga siap berangkat. Kami yang di tim van jadi rombongan terakhir naik. Hujan gerimis mengiringi langkah kami siang itu kayak adegan drama Korea, cuma bedanya ini versi mahasiswa pascasarjana.
Obrolan, Guncangan, dan Ngantuk
Van mulai melaju di jalanan Malaysia yang lengang. Sejujurnya, lalu lintas di sini tidak sepadat Jakarta. Di bangku belakang, saya, Zul, dan Rohman asyik bercanda. Kami saling bertukar cerita mulai dari asal daerah hingga pengalaman kerja. Saya yang duduk di pojok belakang kurang memperhatikan Bowo, Efri, dan Dadan di depan.
Satu hal yang jadi bumbu perjalanan: guncangan van. Sopir melaju kencang, dan setiap kali ada jalan berlubang atau tidak rata, tubuh kami serasa ikut lompat. Siklus perjalanan kami bisa diringkas: ngobrol → ketawa → ngantuk → tidur → kaget karena guncangan → terus ngobrol lagi.
Milo Malaysia dan Humor Receh
Setelah menempuh jarak yang lumayan jauh kurang lebih sebanding Jakarta Semarang van akhirnya berhenti di SPBU. Sopir ingin merokok dan ke toilet, sementara kami mencari udara segar.
Dadan nyeletuk, “Milo Malaysia beda rasanya sama Milo Indonesia,” katanya sambil menyebut nama Bu RT (Bu Anita), koordinator komunikasi perjalanan. Saya pun langsung penasaran dan berburu Milo. Sayangnya, yang ada hanya Milo kaleng. Rasanya pekat, mirip beng-beng yang dilarutkan air panas.
Sepanjang jalan, saya dan Rohman terhibur membaca baliho iklan di jalan tol. Bahasa iklannya unik, kadang bikin kami tertawa kecil. Humor receh khas bapak-bapak, tapi lumayan buat mengusir bosan. Hal lain yang bikin heran: di Malaysia, motor bisa masuk jalan tol! Bandingkan dengan saya yang pernah disuruh putar balik oleh petugas tol Jakarta gara-gara motor salah jalur.
Rest Area, Bekal Makan, dan Burung Gagak
Kami berhenti lagi di rest area yang suasananya mirip tol Cipali gersang dan banyak burung gagak. Di situ kami membuka bekal makan siang yang belum sempat dimakan. Tak lama kemudian, bus lain mulai berdatangan. Bus pertama yang bergabung membawa Bu Eva (yang biasa dipanggil Bule) dan Bu RT.
Nah, di perjalanan ini Bu RT memegang peran vital: juru komunikasi. Dialah penghubung antara travel, kampus, dan panitia. Segala keputusan penting biasanya lewat beliau, lalu didiskusikan dengan bendahara (Dadan) dan ketua (Nugraha). Jadi kalau ada masalah, tiga serangkai ini harus tetap nyambung komunikasinya.
Kami sempat bercanda soal banyaknya burung gagak di Malaysia. Saat saya tanya alasannya, Bu RT menjawab santai, “Karena nggak ada kucing.” Katanya serius, padahal nadanya kayak bercanda. Tapi begitu saya selesai shalat dan melihat seekor kucing tepat di depan mushola, saya langsung konfirmasi. Balasan Bu RT? Tertawa lantang, sampai saya pun ikut menular ketawa.
Drama Baterai HP
Di tengah perjalanan, Dadan terlihat bingung karena HP-nya hampir mati. Padahal, komunikasi penting sangat bergantung pada gadget. Saya cek, ternyata di van tidak ada colokan charger. Heran juga, perjalanan jauh kok fasilitas sekecil itu nggak tersedia.
Akhirnya saya menawarkan solusi: jika perlu diskusi atau koordinasi, bisa pakai HP saya sementara. Daripada komunikasi macet, lebih baik berbagi.
Van terus melaju menuju kota tua Malaka. Jalanan panjang dihiasi perkebunan sawit, sopir yang ngebut, dan obrolan yang bergantian antara serius dan receh. Rasanya perjalanan ini seperti mini drama jalanan: penuh guncangan, canda, dan sedikit drama lowbat.
Bersambung…