uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Dilema keluarga guru, ngajar anak orang tapi anak sendiri kurang perhatian



Jadi guru itu gampang-gampang susah, begitu kalimat pembuka dalam artikel ini. Menjadi guru bukan profesi yang lahir cita-cita masa kecil. Hampir 95 persen teman saya yang berprofesi sebagai guru hari ini memiliki latar belakang yang berkaitan dengan guru. Entah ayahnya, ibunya, tantenya, atau simbahnya yang guru. Tapi yang paling banyak adalah ayah atau ibunya adalah guru.

Pengaruh keluarga terhadap profesi yang dipilih, tentu hak pribadi si anak. Entah ia ikut dengan sukarela, terpaksa, atau berdasarkan pengamatannya untuk menentukan profesi. Ketertarikan bisa muncul karena motivasi interinsik yang luhur, bisa juga iming-imingin eksternal. Nah yang kita akan bahasa faktor iming-iming yang kini menjadi dilemma para guru hari ini.

Stigma guru banyak waktu luang

Salah satu bentuk iming-iming menjadi guru adalah kemudahan dan waktu luang yang dimiliki oleh guru. Waktu luang ini sering kali sangat menarik dan menjadikan profesi ini diminati. Berbeda dengan profesi kantoran atau pabrik yang jam kerjanya bisa sampai delapan jam atau lebih dan jam lembur. Jam kerja guru terlogolong lebih singkat.Guru itu kerja ketika murid datang, begitu stigma yang tumbuh di tengah masyarakat. Demikian juga dengan guru-guru zaman dulu.

Secara perbandingan, jumlah guru laki-laki lebih sedikit dibandingkan guru perempuan. Guru mungkin menjadi profesi favorit bagi kaum hawa setelah pramugari dan sekretaris. Tingginya antusias kaum hawa pada profesi guru ini didorong dari stigma guru banyak waktu luang. “murid libur, guru libur, murid pulang, guru pulang.”

Hal itu tak sepenuhnya salah. Dulu, sebelum ada kontrol kehadiran digital. Guru yang rumahnya dekat dengan sekolah sering sekali pulang duluan, dan menjalankan kodratnya sebagai ibu dan istri selepas murid pulang sekolah. Jika murid pulang jam sebelas, maka jam sebelas juga guru akan pulang. Paling lama ya tiga puluh menit sampai satu jam. Tapi itu dulu.

Setelah hadir daftar kehadiran digital, semua guru baik yang rumahnya jauh maupun dekat memiliki jam pulang yang sama. Sekolah Dasar Negeri di Jakarta misalnya, walaupun murid pulang jam dua belas. Guru akan tetap disekolah dan harus lapor pulang digital pada jam tiga sore.

Rentang waktu dari anak pulang hingga guru pulang diisi dengan berbagai kegiatan administrasi sekolah yang merdeka dan kegiatan-kegiatan tambah. Dan sangat sering kegiatan tambah itu merubah menjadi wajib bahkan berada di luar jam kerja. Hingga tak jarang bagi kalian yang punya saudara guru, sering kali melihat mereka ikut webinar atau pelatihan online sore hari bahkan kadang malam atau hari libur. 24x7.

Guru adalah prajurit dan Prajurit tak boleh tolak perintah

Sebagai ujung tombak pendidikan sering kali guru ditumpulkan dengan kegiatan-kegiatan tambahan. Misalnya jam kerja sangat tidak bisa diprediksi. Kadang instruksi baru sampai ke guru pada sore hari menjelang jam pulang, dan harus selesai malam harinya.

Tentu kesemuanya tidak ada jam lembur bagi mereka yang mengajar di sekolah negeri. Para pimpinan sekolah ataupun pengawas sering mengutip kata-kata bijak “jadikan lelah jadi lilah” untuk meredam kegeraman guru-guru karena instruksi dadakan dan batas akhir yang mepet.

Jika guru adalah prajurit dalam dunia pendidikan, maka prajurit ini sering binggung, lontang lantung, dan kelelahan dalam memahami strategi besar pendidikan.

Anakku sayang anakku malang

Bagaikan buah siamala kamang, rencananya turut berkonstribusi dalam upaya mencerdasakan putra-puti bangsa. Namun putra-putrinya di rumah dititipkan ke eyang atau bibinya. Pengetahuan dan kemampuan mengajar para kaum ibu terkuras waktu dan tenanganya di sekolah-sekolah. Sedangkan anak-anak mereka hanya medapatkan sisa dari semangat dan tenaga. Maksud hati ingin profesi yang punya waktu luang tinggi, malah terjebak dalam rutinas yang tak tuntas-tuntas.

Hal tersebut tentu hadir karena berbagai tuntutan yang harus terpenuh mulai dari jam kerja, jarak tempuh rumah ke sekolah, hingga target tugas yang mendadak. Jika rumah adalah sekolah pertama, orang tua adalah guru pertanya serta Ibu adalah pilar berdirinya bangsa, kini pilar itu lapuk dan rapuh karena sudah digunakan menopang beban yang jauh dari kemampuannya. Hingga untuk menopang beban dan tanggung jawab sendiri tinggal sisa.



Related Posts
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment