uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Aku bertanya maka aku ada


Malam tadi saya mengalami peristiwa horor ilmiah, yang mungkin juga dialami oleh murid-murid saya di kelas. Dalam perkuliah dengan dosen yang dari intonasi dan volume suaranya agak tegas. Ketika presentasi kelompok telah berakhir menandakan mulainya sesi tanya jawab.

Sesi tanya jawab adalah momen paling saya tunggu dalam beberapa mata kuliah karena selain ajang elaborasi, disana saya mencari sudut padang lain dari permasalah yang saya alami. Sebagai presenter atau tim penyaji tentu sangat menyebalkan bila sesi tanya jawab di mulai tapi tak ada satupun yang yang hadir bertanya. Saya pernah ada dalam posisi itu.

Sebagai penyimak, sangat sulit melontarkan pertanyaan akan suatu hal yang ketika mendengarkannyapun bingung. Atau sangat sulit bertanya dalam kondisi takut salah bertanya karena dosen atau guru akan memberikan komentar kurang pas jika pertanyaannya salah atau hanya formalitas.

Peristiwa malam tadi mendorong saya berkontemplasi tentang hakikat dan motif dalam setiap pertanyaan. Maka hadirlah beberapa jawaban dari hakikat serta motif yang melatar belakangi mengapa orang bertanya.

Bertanya karena tidak tahu

Alasan itu ada alasan paling dasar mengapa orang bertanya. Seperti pepatah lama, malu bertanya sesat di jalan, untungnya ada google map. Tapi tidak semua orang yang tidak tahu akan bertanya. Karena orang yang tidak tahu, belum tentu tahu bahwa ia tidak tahu. Atau dia tahu bahwa ia tidak tahu, dan takut orang tahu bahwa ia tidak tahu. Akhirnya enggan mencari tahu. Pusingkan karena tidak ada tempenya.

Takut orang tahu ia tidak tahu. Takut distigma lola, tulalit, gitu aja gak paham. Padahal daya tangkap seseorang itu beda-beda. Maka setiap pertanyaan harus dijawab dengan baik dan mendapatkan respon yang tepat.

Bertanya karena paham

Alasan kedua ketika orang bertanya adalah mengkonfirmasi dari pernyataan. Kadang, dalam presentasi kata-kata mengalir begitu saja. Kata-kata yang mengalir itu kadang menciptakan miskonsepsi atau misinterpretasi.

Maka orang yang bertanya bertujuan untuk mengkonfirmasi atau mengklarifikasi. Biasanya orang dengan tipe ini adalah orang yang menguasai materi lebih dahulu, atau lebih luas dalam memahami konsep terkait materi yang disajikan.

Alasan ini juga menyebabkan orang juga enggan bertanya. Salah satunya karena takut dianggap paham. Karena ketika orang dianggap paham ia akan mendapatkan tanggungjawab dari setiap perkataan yang dilotarkan. Kata-katanya dijadikan landasan, dan ketika ia salah berkata-kata maka orang akan menyalahkan dirinya jauh lebih berat dibandingkan orang yang dianggap tidak paham. Pahamkan?!

Bertanya untuk menilai

Alasan ketiga ketika seorang bertanya adalah untuk menilai jawaban. Yang membedakan dari alasan kedua ada, ia tidak akan mengkonfirmasi dan mengklarifikasi nilai yang ia berikan dari jawaban si penjawab.

Bertanya bagi tipe ini adalah untuk menilai benar atau salah. Hal ini lumrah dilakukan dalam diskusi. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan daya tangkap dari penyaji diskusi akan materi yang disajikan. Penanya atau orang yang bertanya akan menerima jawab penyaji bulat-bulat. Ketika ditanya anda sudah puas? Maka ia akan menjawab cukup. Walaupun secara pengamatan sederhana pertanyaan itu masih mengawang dan kabur alias tidak jelas.

Orang juga engan untuk bertanya karena takut dianggap “mengtes” saja. dan terkesan sombong atau lebih memahami materi dibandingkan penyaji materi hingga merendahkan penyaji.

Bertanya untuk bicara

Tipe penanya keempat ini sangat sering saya jumpai dalam seminar dan kegiatan pendidikan. Cirinya adalah ia akan menarasikan pertanyaanya pajang kali lebar. Dan di akhiri dengan pertanyaan yang ambigu. Kadang yang parah adalah jawaban dari pertanyaan itu sudah ada dalam pertanyaan atau narasi yang ia buat.

Motif penanya yang ketiga ini adalah bukan untuk mencari tahu, mengklarifikasi, ataupun menilai. Tetapi hanya untuk bicara. Sebenarnya ia ingin memberikan tanggapan atau mengutarakan gagasan, tapi malah terjebak di sesi tanya jawab yang harusnya bertanya.

Orang juga akan enggan bertanya karena takut dianggap caper doang, bahkan cerewat padahal pertanyaannya kurang subtansial. Bayangkan jika stigma ini didapat dari teman satu kelas, tentu akan dihindari dalam setiap sesi diskusi.

Bertanya untuk hadir

Aku bertanya maka aku ada. Dalam keheningan yang ramai alias banyak orang tapi diam semua. Bertanya merupakan wujud eksistensi diri. Bagi para dosen sering sekali menilai keaktifan mahasiswa dari intensitas bertanya.

Dengan bertanya orang tersebut menyatakan diri telah hadir dalam forum. Mengikuti dan memperhatikan forum dengan baik. Dengan bertanya, orang tesebut juga menegaskan dirinya hadir terhadap lingkungan yang diam. Ia menampilkan dirinya dan mengizikan orang untuk mengetahui kehadiran dirinya.

Akhir dari tulisan ini, saya mengingatkan bertanya adalah wujud eksistensi. Aku bertanya maka aku ada. Jika tak bertanya maka cuma nama.


Related Posts
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment