uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

7 Alasan Warga Jakarta Kenapa Tidak Mau Naik Transportasi Umum

 

sumber gambar : https://www.cnbcindonesia.com/news/20190729073241-4-88129/kuburan-transjakarta-dki-berpotensi-kehilangan-rp106-m

Jakarta sebagai kota megapolitan dan ibu kota yang akan ditinggalkan menyimpan banyak cerita. Salah satunya soal pembangunan. Mulai dari pembangunan kos-kosan, rumah tetangga, gedung dinas plat merah, gedung-gedung milik swasta hingga pembangunan infrastruktur baik jalan, jembatan hingga moda transportasi.

Sebagai pemuda yang lahir di akhir dekade 90-an dan sampai sekarang masih tercatat di aplikasi alpukat (aplikasi dukcapil milik pemda DKI). Saya melihat dan merasakan dengan seksama perkembangan, pertumbuhan dan  pembangunannya kota ini. Salah satunya adalah pembangunan dalam bidang transportasi.

Selain MRT dan LRT yang sekarang sedang dikebut. Sudah ada Trans Jakarta yang lebih dulu hadir dan familiar di mata warga Jakarta. Trans Jakarta atau TJ sudah dimulai diakhir periode Gubernur Foke dan hingga kini masih terus disempurnakan. Baik dari segi armada, halte, hingga sistem pembayarannya.

Masalah transportasi adalah hal yang penting bagi kota-kota besar. Terlebih Jakarta, kota yang identik dengan kemacetannya. Wajar jika janji "bebas macet" selalu hadir dalam setiap kampanye pilgub lima tahunan.

Namun dari zaman ke zaman janji tinggal janji. Seolah warga Jakarta ogah menggunakan transportasi umum dan asik pada kendaraan pribadi. Menujukan betapa kurang pekanya pemerintah daerah dalam mengenali sifat dan kebutuhan warganya. Nah pada tulisan saya ini, saya akan bahas alasan mengapa banyak masyarakat Jakarta ogah naik transportasi umum.

#1 Trayek jauh dari rumah

Banyak orang memilih naik ojol atau opang karena trayeknya jauh dari rumah. Sebenarnya pemda sudah menyiasati dengan memasang plang stop bus untuk kendaraan umum. Tapi masalah pemasangan plang stop bus masih belum strategis. Sepertinya perlu ditinjau ulang. Masa plang stop bus ada di daerah lapang tanpa atap untuk berteduh.

Selain itu plang stop bus belum terintegrasi dengan baik. Contohnya ketika orang ingin berpindah moda dari KRL, TJ atau trans Jakarta ke Jaklinko maka ia harus berjalan kaki 50 sampai 100 meter menjauh keluarg dari stasiun atau halte Trans Jakarta.

Pemda juga sudah berusaha membangun jaringan transportasi terpadu. Dari trans jakarta, metro trans Jakarta pengganti kopaja dan metromini, hingga Jaklinko yang masuk ke jalur-jalur kampung. Tapi masih butuh evaluasi agar satu dengan yang lainnya konek dan tidak terputus di tengah jalan.

Usaha lain dari pemda adalah biaya nol rupiah untuk moda transportasi Jaklinko. Menurut saya ini menguntungkan sekali. Tapi tetap saja masih banyak warga yang enggan naik transportasi umum. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran gratis belum tentu laris.

#2 Titik turun jauh dari tujuan

Memang agak susah-susah gampang menerka apa yang pikirkan warga +62 khusunya warga Jakarta. Selain trayek yang jauh dari rumah, titik turun juga jadi alasan.

Warga Jakarta sudah terbiasa naik transportasi umum konvensional yang bisa turun dimana saja tinggal bilang “kiri bang”. Kini harus disiplin turun di titik yang sudah ditentukan. Moda TJ sampai Jaklinko, semua tidak mau berhenti sembarangan karena sudah ada S.O.P nya. Kalau berhenti sembarangan maka mereka akan mendapatkan sanksi.

Maka pilih transportasi umum yang dikelola pemda ini tidak populis di mata masyarakat. Walaupun gratis tapi tetap harus “jaki” (jalan kaki) tidak jauh memang, tapi ya tetep tidak mau, alasannya "cape".

#3 Tidak punya tiket

Salah satu syarat naik moda transportasi terpandu pemda DKI adalah punya uang elektronik berupa kartu. Baik kartu dari bank swata atau bank BUMN semua bisa dipakai.

Moda ini juga tidak menerima uang tunai kecuali dibeberapa titik. Ini dianggap cukup ribet dan menyulitkan. Padahal jika kartu berupa uang digital tersebut bisa dipinjamkan seperti KRL mungkin bisa lebih fleksibel  dan menarik minta masyarakat. Konversi uang kertas dan koin ke uang elektronik nyatanya belum diterima secara merata oleh masyarakat sekelas warga DKI.

#4 Males berjubel

Berjubel atau berdesak-desakan adalah resiko menggunakan transportasi umum. Terlebih pada jam berangkat dan pulang kerja. Kondisi transportasi umum bagaikan ikan teri dibungkus koran. Mepet-mepetan.

Berdesak-desakan di transportasi umum bagi beberapa orang adalah hal yang sangat dihindari dan sangat membuat risih. Ketika berdesak-desakan kita lebih sering lengah. Boro-boro bisa konsentrasi untuk menjaga barang-barang milik kita. Bisa berdiri dengan seimbang saja juga sudah bersyukur.

Berdesak-desakan juga menimbulkan ketidak nyamanan. Dari mencium bau badan orang yang campur aduk jenisnya sampai potensi kriminalisasi. Potensi kriminal mulai dari copet hingga pelecehan seksual adalah resikonya. Untungnya semenjak pandemi semua moda transportasi dibatasi agar tak terlalu penuh hingga memberikan ruang yang cukup nyaman bagi para penggunanya. Semoga bisa diterapkan terus ya pak Gub.

#5 Takut pelecehan seksual

Walaupun di setiap moda sudah disediakan area khusus wanita.  Masih banyak berita mengabarkan pelecehan seksual di transportasi umum yang cukup membuat ngeri. Maka tidak jarang untuk menghindari hal itu masyarakat memilih naik ojok atau taksi online. Selain menjaga privasi tentu juga meminimalisir tindakan kriminal. Untuk soal kriminalitas kita harus ingat pesan bang napi ya “kejahatan terjadi tidak hanya karena niat pelakunya tapi ada kesempatan, waspadalah, waspadalah.”

Selain area khusus wanita. Disetiap moda juga sudah terpasang CCTV. Tapi mungkin yang belum terekspos dari berita tindak pelecehan seksual di transporasi umum adalah hukum bagi para pelaku pelecehan seksual itu sendiri. Selain itu, pendidikan serta langkah preventif, dan pengaduan untuk setiap pengguna moda transportasi umum juga harus dilakukan. Agar kita semua tahu cara mencegah dan apa yang harus dilakukan jika kita melihat atau menjadi korban pelecehan.

#6 Sudah punya kendaraan pribadi

Alasan ini adalah alasan yang paling umum dan juga alasan utama. "Kan udah punya motor, ngapain naik bus" Kalimat ini yang sering muncul ketika saya bertanya pada teman. Walaupun jarak rumah dan tempat kerja jauh. Tapi karena sudah punya motor ia lebih pilih naik motor dibandingkan naik transportasi umum.

Kelemahan transportasi umum dibandingkan transportasi pribadi tentu jika jarak yang ditempuh jauh. Maka pengguna transportasi umum harus nyambung-nyambung naik turun agar sampai ke tujuan. Berbeda dengan motor dari awal sampai akhir ya ada di atas jok, sampe pengel sampai lecet kecuali saat isi bengsin.

#7 Gak mau naik transportasi umum

Alasan selanjutnya adalah alasan yang tidak ada solusi. Kalau punya motor, masih ada kemungkinan naik transportasi umum pas motor rusak atau cape dan kurang enak bandan. Tapi kalau sudah tidak mau ya pasti cari-cari alasan buat tidak naik transportasi umum.

Demikianlah tujuh alasan, eh enam alasan deh kenapa masyarakat DKI ogah naik transportasi umum. Yang ketujuh itu bukan alasan tapi mungkin pantangan aja. Jangan-jangan kalau dilanggar ilmunya ilang atau nasib sial menghampiri.

Related Posts
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment