Tanggal 2 September 2025, pukul 17.30, saya resmi menginjakkan kaki keluar dari Pasar Minggu. Modal saya sederhana: niat baik, bensin setengah tangki, dan harapan jalanan Jakarta sedang bermurah hati. Tujuan pertama: Masjid Ar-Raudhah, masjid baru di bilangan Ragunan. Namanya masih baru, tapi semangat jamaahnya sudah seperti masjid legendaris—ramai, adem, dan bikin betah. Saya singgah untuk ibadah, sekaligus menabung energi rohani sebelum energi jasmani terkuras di jalan raya.
Perjalanan berikutnya agak personal. Saya mampir ke Cilenggang. Bukan untuk wisata kuliner atau foto Instagramable, melainkan menepati janji: memberi hak libur kakak Nisa. Hak libur ini penting—semacam undang-undang keluarga yang kalau dilanggar bisa lebih ribet dari sidang paripurna DPR.
Setelah urusan keluarga selesai, perjalanan lanjut ke hotel POP dekat Bandara Soekarno-Hatta. Di atas kertas, jarak sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi di jalan raya Jakarta, waktu tempuh tidak pernah mengikuti logika matematika. “Kalau Google Maps bilang 45 menit, kalikan saja dua, kali tiga, atau kali empat—baru mendekati kenyataan.”
Akhirnya, saya menembus sisa asa kemacetan ibu kota dan tiba pukul 21.00. Rasanya seperti lulus ujian nasional: lega tapi lelah.
Setiba di hotel, langsung gabung dengan panitia. Suasananya seperti posko darurat ala film-film. Ada yang sibuk mencatat, ada yang sibuk menghubungi pihak maskapai, ada juga yang sibuk mencari colokan charger—karena di zaman sekarang, tanpa baterai HP semua rapat bisa bubar.
Kami mendiskusikan persiapan keberangkatan. Informasi yang masuk macam-macam: ada kabar delay, ada isu cancel pesawat. Situasinya membuat kami belajar manajemen krisis kilat. Harus cepat, harus tepat, tapi tetap terlihat bijak—meski dalam hati ingin bilang: “Kenapa sih pesawat nggak delay-nya besok aja, pas kita udah sampai tujuan?”
Begitulah, malam itu ditutup dengan diskusi panjang. Perjalanan baru saja dimulai, dan tantangan sudah muncul: dari macet jalanan hingga macet jadwal penerbangan. Tapi bukankah setiap perjalanan memang begitu? Selalu ada babak baru, selalu ada cerita segar—kadang bikin ketawa, kadang bikin kepala cenat-cenut.
To be continued…