uCO8uJcd2NOW77jAZ4AbbiNUmGHcS2tFraLMRoIi

Tragedi Pagi Hari



Tragedi Pagi Hari

Pagi itu cuaca agak gerimis sisa badai malam tadi, suasana masih cukup digin untuk bergegas ke sekolah. Hari itu adalah hari pertama aku masuk ke sekolah bertemu dengan teman-teman ku.

Rasa malas mendominasi hati dan badan ku tapi handuk sudah ada tepat di atas muka ku. Begitulah cara ibu membangunkan ku, melempar handuk tanpa kata dan aku yang sangat sensitive pasti terbangun bagai prajurit perang yang mendengar alaram perang. Setelah solah subuh di masjid, aku makan seadanya sarapan yang disiapkan ibu ku.

Meskipun ibu ku adalah ibu rumah tangga tapi jadwalnya cukup sibuk untuk menjadi undangan kegiatan PKK yang entah fungsi dan tujuannya untuk apa.

Setelah sarapan, aku sudah siap berangkat dengan tas selempang biru yang dibuat kolektif saat SMP kelas 3 yang mulai brudul dan payung hitam panjang ditangan kanan.

Biasaya kawan ku Eb menawarkan tumpangan untuk naik motor Bersama ke sekolah. “tapi ahhh ku pikir sudah terlalu sering aku numpang Bersama Eb”, dalam hati ku. Ku putuskan pagi itu berangkat dengan kopaja 68 kampung melayu – rangunan.

Cukup lama menunggu, aku lihat gadis-gadis SMA sebaya ku yang mulai kelihatan manis, jujur saya sering kali aku memandangi mereka namun nyali ku tak cukup untuk menanyakan nama atau untuk berkenalan.

Ada juga anak-anak pria SMA yang sudah mulai belajar merokok. Bagi ku kejantanan bukan di tujukan dari jumlah batang rokok yang dihabiskan, atau kepulan asap yang mereka anggap keren.

Ketika tiba bus yang ku tunggu dengan keadaan penuh. “Banyak penumpang rupanya hari ini, mungkin karena hujan jadi pengendara motor naik bus semua”, piker ku dalam hati. Ketika kondetur meminta ongkos pada ku, aku berikan harga pelajar.

Karena aku masih STM dan bukan pekerja, namun karena aku mengenakan pakaian bebas maka kondektor ngotot. Namun ketika sadar celana ku berwarna abu-abu akhirnya dia berlalu.

Dalam perjalan bus aku bertemu beberapa kawan satu sekolah yang juga mengenakan pakaian bebas. Hal ini bukan tanpa sebab. Ini karena sekolah kami sedang menjadi incaran banyak STM yang kalah dalam perlombaan olahraga jalanan ala STM, atau yang orang awam sebut tawuran.

Sebenarnya aku tidak begitu sepakat dengan kata”tawuran” yang berati mawur atau berantakan. Karena kami benar-benar memiliki strategi dalam permainan atau perlomaan ini.

Hingga tak jarang sekolah lawan harus kehilangan satu nama temannya dari daftar siswa sekolah karena sudah berbeda alam. Tak jarang jika aku beruntung aku bertemu dengan Arini, mantanya si Pandu.

Kadang Arini memberikan senyuman manisnya, kadang ia juga tidak sadar bahwa aku ada di dekatnya. Kawanku juga sering menganggunya tapi setelah ku beritahu dia adalah kawan SMP, maka mulai dari situ tak satupun teman ku menganggunya.

“Awwaaasss wwwwooooii” teriak sang supir mengangetkan lamunan ku pagi itu di dalam Bus. Seketika kondektor yang ada di pintu depan menutup pintu belakang dan meneriaki Adi kawan ku yang tepat ada di pintu belakang “Wooooii tutup”.

Bergegas aku berdiri melihat apa yang terjadi. “tttttttttoooooonnn ttooooonn tooooonn” suara klakson tua kopaja. Suasana menjadi tambah tegang, beberapa penumpang berebut melongok ke depan atau ke kaca, aku pun juga tak mau tertinggal.

Terlihat kumpulan anak-anak seusia ku dengan wearpack baju praktik lapangan sekolah tenik mesin yang sering menang lomba. “sialan, ini anak-anak Awan”, kata alex sambal merundukan kepalanya dibelakang bangku seolah takut.

Awan adalah nama sekolah sering kali mencari lawan tanding dalam perlombaan jalanan. “Mau ngapain di sini mereka?, ini bukan jalur mereka” tandas ku pada alex. “kemarin kawannya mati satu sama anak STM sodara kembar, mereka lagi cari orangnya” alex menjelaskan dengan rona ketakutan yang sangat seolah kita semua anak SMT yang ada di bus ini sedang dalam masalah besar. “praaannkk” “praaank”, suara kaca depan. Aku lihat Adi tiba-tiba mundur dan menghindar dari depan pintu.

Pada saat itu aku baru sadar bawah bus kami di kepung. Terlihat ibu-ibu mulai panik, takut dan sedih. Bapak-bapak mencoba memberanikan diri untuk mengusir kerumunan itu. Namun dalam kondisi yang mancet dan didepan bus terhalang oleh beberapa anak SMT itu maka sopir tak bisa berbuat apa-apa.

Lemparan batu masih terus berdatangan bagai permualaan hujan disaat pancaroba. “Prank” “prank”. “Ibu nunduk bu, nuduk!” teriak ku pada ibu yang duduk di dekat kaca. Beberapa dari mereka melancungkan senjata tajam, ada jenis samurai ada juga celurit. “abis nihh kita”, kata alex pada ku. Pagi itu dalam bus kami ada aku dan empat teman ku ditambah beberapa anak SMA yang tidak tahu apa-apa.

“Wooiii turun luuuhhh....”, terika beberapa anak-anak SMT itu dari luar bus. Kata-kata kasar terdengar dari mulut mereka. Mereka mengacungkan senjata tajamnya ke arah anak-anak SMA yang terlihat juga panik ketakutan. Dalam konsidi seperti ini sangat wajar muncul rasa takut dalam hati.

“kayanya bukan kita yang di incer lex” kata Adi menenangkan kami. Supri sebenarnya ingin turun dan langsung berkelahi, tapi aku tahan karena kami tak bawa satu senjata apapun hari itu. Kopel kamipun sudah disita pak Hasan saat rasia besar-besar di kelas kami kemarin.

“CR gua gak bawa kali” kata supri. CR adalah singkatan dari celurit. Entah celurit seperti apa, karena yang ku tau celurit itu untuk kakek ku Bertani di Jakarta digunakan untuk kejahatan. Begitulah benda,ilmu dan semua yang tidak punya daya kekuatan, mengikuti tuannya. Baik buruk ditangan tuanya. Aku masih berdiri, tangn ku masih memegang besi pegangan diatap bus.

Memperhatikan apa sebenernya terjadi. Aku perhatikan wajah-wajah menumpang bus semua ketakutan, namun ketika aku perhatikan diantara anak SMA itu ada satu orang yang menggunakna jaket STM saudara kandung.

“Ka, itu bukanya jaketa SK ya”, kata ku pada Eka yang juga masih berdiri. “mana-mana?” Supri mengakat bandannya yang tadi ikut merunduk dekat alex dengan wajah penasaran. “iya lex”, suara Supri meninggi menyakinakan Alex.

Diantara Alex memiliki jam terbang yang paling tinggi dalam hal ini. “gimana nih bang...?”, katanya eka kepada Alex. Dan Alex melihat ku memberi kode binggung seolah ingin memutar pertanyaan yang sama.

Dengan rupa dan badan yang ku paksa untuk tenang aku hampiri kerumuan anak SMA yang satu bus dengan ku. Tak semua anak laki ada anak perempuannya juga. “Woi sini”, kata ku kepada mereka yang berjarak kurang lebih satu meter.

Beberapa dari mereka menghampiri ku, jumlah mereka ada 5 orang juga, 2 perempuan 3 laki-laki ditambah satu orang yang mengunakan jaket STM SK. Aku keraskan sedikit suara ku pada orang yang menggunakan jaket itu. “lepas... lepas”, kata ku sambil memberi isyarat pada satu orang itu.

 “Lu pada dari sekolah mana?” katanya ku, “anak DS bang” kata cewek SMA itu, “lu dari mana”, aku bertanya pada anak cowok yang mengenakan jaket SK. “gue SK bang”, jawabnya mulai gugup. “mereka liat jaket lu makanya, kopaja kita di bajak”, tandas ku. “iya bang ini juga gue baru sadar”, katanya.

Hamper lima belas menit gerimis batu dari luar. Terdengar jari jauh sirine polisi yang lama kelamaan mulai mengeras dan jelas. Ku lihat beberapa anak-anak diluar mulai berlarian menjauh dan hilang.

Beberapa anak masih mengacungkan senjata sambil mengancam jika nanti bertemu lagi. Semakin dekat sirine polisi, beberapa bapak-bapak memberanikan diri turun.

Pecahan kaca jelas berserakan baik di dalam maupun di luar bus. Ketika polisi datang kami lekas naik ke bus yang lain dalam hati ku berkata “jika sampai ketahuan polis bisa panjang dan gak selesai lebih baik langsung ke sekolah.”

Di Sekolah aku menceritan semuanya kepada pak Hasan guru Agama sekaligus Konselor kami ketika mengalami permasalahan. Hari itu sungguh mendebarkan, hampir saja dan hampir saja.

Tanpa disadari hari itu tinggal kenangan saja. Kini aku duduk di bangun Universitas Fakultas Pendidikan. Banyak yang mempertanyakan latar belakang dan niat ku menjadi seorang guru.

Bagi ku guru bukan hanya status Adminstrasi belaka, bukan hanya untuk mengais rejeki yang tuhan tebar di buka bumi. Aku tak ingin menjadi guru hanya mendorong siswa yang lebih kreatif dan aktif dijalan dengan sejata tajam dengan menciptakan iklim yang mencekam di sekolah.

Dengan penuh rutinitas belajar yang buruk dan pembawaan yang kurang menarik. Aku ingin menjadi guru yang dapat mengalirkan keringat, air mata siswa.  

Aku ingin menciptakan iklim Pendidikan yang anak-anaknya menjadi sekolah adalah rumah keduanya, sekolah ada tempat berkreasi dan masyarakat sekitar sekolah bisa mendapatkan manfaatnya baik berupa hasil karya dari hasil-hasil penelitian. Karena jujur saya, sekolah adalah system menjenuhkan yang merusak kreativitas kami.

Cipinang Besar Selatan 27 Januari 2020

Related Posts
Sugeng Riyanto
Aktif mengajar di SDN Cipinang Besar Selatan 08 Pagi. Purna PSP3 Kemenpora XXIV. Pernah menjadi sukarelawan UCFOS PK IMM FKIP UHAMKA. Kini tercatat sebagai salah satu guru penggerak angkatan 7. Penulis Buku "Pendidikan Tanpa Sekolah. Suka berpergian kealam bebas, Menulis berbagai jenis artikel.

Related Posts

Post a Comment